Wisma Karya

Wisma Karya
Societeit

Sabtu, 22 Maret 2014

PERWUJUDAN GEDUNG WISMA KARYA SEBAGAI UPTD MUSEUM SUBANG DITINJAU DARI TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN



PERWUJUDAN GEDUNG WISMA KARYA SEBAGAI UPTD MUSEUM SUBANG DITINJAU DARI TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN
DINAS KEBUDAYAAN PARIWISATA
 PEMUDA DAN OLAH RAGA
KABUPATEN SUBANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
         Gedung Wisma Karya merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kabupaten Subang, peninggalan perusahaan perkebunan Pamanoekan and Tjiansem Lenden, pada masa Pemerintahan kolonial Belanda. Berdasarkan prasasti yang ada di gedung tersebut gedung dibangun pada tahun 1922, oleh para arsitek dari Belanda sehingga bentuk bangunan secara arsitektural bergaya Eropa dengan ciri has atap pelana dengan ornamen batu menempel pada tiang – tiang selasarnya.


          Lokasi Gedung Wisma Karya berada tepat dipusat Kota Subang, yaitu di Jalan  Ade Irma Suryani Nasution Nomor 2, secara administratif berada diwilayah Kelurahan Karang Anyar Kecamatan Subang, bangunan tersebut menghadap ke selatan, luas bangunan 1088 m2. Untuk menuju Gedung Wisma Karya sangat mudah karena seluruh kendaraan umum perkotaan dari berbagai arah dan  jurusan melewati gedung tersebut. Karena letak Gedung Wisma Karya berada di pusat Kota Subang,  maka ancaman kerusakan sangat tinggi karena  lingkungan gedung sangat terbuka tanpa ada pembatas atau pagar, sehingga setiap hari, siang dan malam lingkungan Gedung dipakai aktifitas masyarakat untuk bermain (Hendarsah, 2013: ).
          Saat ini Gedung Wisma Karya milik Pemerintah Kabupaten Subang, yang dikelola oleh tujuh pengelola yaitu Bagian Aset Daerah Setda Kabupaten Subang, UPTD Museum, UPTD Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kecamatan Subang, Cijambe, Kalijati, Dawuan, Cibogo, Organisasi Pemuda Pancasila, PWRI, PORPI, dan Primkoptama Mitra Pensiunan. Masing-masing mengisi ruang yang berbeda, terkecuali Bagian Rumah Tangga Sekreteariat Daerah yang hanya mengelola aula saja dan berkantor tetap di Sekretariat Daerah Pemda Subang. Dampak dari pengelolaan oleh berbagai lembaga yang berbeda tersebut mengakibatkan pengelolaan gedung menjadi semrawut karena memiliki kepentingan   yang  berbeda-beda  sehingga gedung menjadi sorotan atau tanggapan kurang baik  dari  masyarakat (Hendarsah, 2013:    )
          Keberadaan bangunan Gedung Wisma Karya yang merupakan bangunan lama terkadang orang menyepelekannya dengan citra seram dan kusam, padahal kelemahan yang dimilikinya sebenarnya merupakan kekuatan, bangunan lama menyimpan banyak kisah sepanjang umurnya dibandingkan bangunan baru yang kisahnya baru beberapa tahun saja, bangunan tersebut dapat saja ditata sedemikian rupa sehingga dari luar tampak tua, tetapi begitu masuk ruangan gedung tampak muda dan modern. Banyak di dunia yang menggunakan bangunan lama untuk museum dan museum tersebut bertambah terkenal karena bangunannya bernilai sejarah tinggi (Ali Akbar, 2010:25).
 Gedung Wisma Karya merupakan Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya yang memenuhi kriteria :
a.      Berusia 50 ( lima puluh ) tahun atau lebih;
b.      Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 ( lima puluh ) tahun;
c.       Memiliki arti khusus bagi sejarah , ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan; dan
d.      Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.(UU RI No.11 Tahun 2010, Pasal : 5).
Sedangkan pada pasal 1 yang dimaksud Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia , baik bergerak maupun tidak bergerak , berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian- bagiannya, atau sisa – sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
           Untuk pengembangan Cagar Budaya dalam hal ini yaitu Bangunan Cagar Budaya yang berada di wilayah Kabupaten Subang, harus dipikirkan bagaimana mengatasi ancaman eskternal sehingga dapat merebut peluang yang ada, oleh karena itu perlu adanya proses analisis serta merumuskan dari hasil evaluasi strategi yang sebelumnya pernah dilakukan, sehingga akan muncul strategi-strategi baru  setelah melihat secara obyektif kondisi internal dan eksternal  (Hendarsah, 2013:  ).
B.      PERUMUSAN MASALAH
Setelah melihat latar belakang yang ada agar dalam penelitian ini tidak terjadi kekeliruan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam makalah ini.
Adapun perumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana cara menerapkan teori lingkungan terpilih terhadap pemanfaatan gedung Wisma Karya sebagai Museum Daerah Subang ?
2.      Bagaimana menciptakan pemetaan kognitif pada gedung Wisma Karya sebagai Museum Daerah Subang ?

C.      TINJAUAN TEORI
1.      Steven Kaplan dan Rachel Kaplan
Faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu objek lingkungan untuk dikunjungi atau tidak dikunjungi harus mempunyai daya tarik. Dari hasil penelitian kedua ahli tersebut diperoleh hasil sebagai berikut :
a.      Coherence : pengorganisasian lingkungan yang baik akan lebih menyenangkan untuk dikunjungi.
b.      Legibility : tingkatan pemahaman terhadap sebuah lingkungan yang dikunjungi sesuai dengan kemampuan pengetahuan yang dimiliki oleh pengunjung.
c.       Complexity :  suatu lingkungan akan lebih menarik apabila terdapat pada sebuah lingkungan yang beragam atau tidak monoton, lingkungan yang monoton akan menimbulkan kebosanan.
d.      Mystery : lingkungan yang memiliki informasi tersembunyi akan menimbulkan keinginan seseorang untuk mencari informasi sehingga menjadikan pengetahuan yang didapatkan.
2.      Berlyne
Mengemukakan konsep eksplorasi untuk melakukan evaluasi lingkungan. Elemen dalam eksplorasi adalah : Kompleksitas, hal yang baru, keganjilan, dan keheranan. ((Zulriska Iskandar, 2012: 89)
3.      Russel dan Lanius
Mengemukakan suatu model afektif dalam memilih suatu lingkungan. Lingkungan dapat menggugah atau tidak menggugah perasaan pengunjung. Demikian pula suatu lingkungan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. (Zulriska Iskandar, 2012: 79)
4.      Pemetaan kognitif merupakan proses mental yang berisikan serangkaian transformasi psikologis dari informasi yang diterima, dikategorikan atau dibuat kode, disimpan, disampaikan dalam suatu deskripsi mengenai suatu lokasi. Pemetaan kognitif sering disebut juga dengan peta mental. (Zulriska Iskandar, 2012: 92)

BAB II
PEMBAHASAN
A.     LINGKUNGAN TERPILIH
Gedung Wisma Karya merupakan tempat yang mempunyai daya tarik sendiri, ditinjau dari bentuk arsitektur, gedung ini terdapat ciri yang mudah diingat oleh masyarakat, oleh karena itu objek yang mempunyai daya tarik akan menjadi pilihan seseorang untuk dikunjungi. Gedung wisma karya merupakan salah satu Bangunan Cagar Budaya yang mempunyai makna dibalik gedung tersebut atau diistilahkan tangible and intangible heritage.
Pada saat ini museum harus segera merubah paradigma dari traditional museum ke new museum,  traditional museum berorientasi  pada perawatan dan pengamanan sedangkan new museum berorientasi pada perkembangan sosial dan kehidupan masyarakat. Penerapan new museum harus segera dilaksanakan oleh pengelola museum, agar memberikan sebuah penyajian yang diterima oleh masyarakat melalui penilaian atau evaluasi terhadap sebuah lingkungan museum.
Gedung wisma karya merupakan sebuah cikal bakal terbentuknya new museum di Kabupaten Subang, namun perwujudannya harus menggunakan strategi dan perencanaan yang baik. Yaitu dengan menggunakan teori lingkungan terpilih dari para ahli:
-           (steven Kaplan dan Rachel Kaplan) yang terdiri dari beberapa faktor yaitu :
1.      Coherence
Sebuah museum harus memiliki atau membangun suatu organisasi yang baik dalam pengelolaannya, sehingga akan memberikan pandangan bagi masyarakat bahwa museum tersebut memiliki daya tarik yang menyenangkan dalam penataan lingkungannya.
2.      Legibility
Dalam pentaan lingkungan objek harus memberikan sebuah pemandangan yang mudah diingat dan dipahami. Pada penyajian koleksi museum harus memberikan komunikasi informasi yang sesuai dengan kategori pengetahuan pengunjung agar mudah dinikmati dan dipahami.
3.      Complexity
Museum harus berada pada tempat yang strategis, dimana terdapat beragam lingkungan disekitar museum agar pengunjung diberikan kemudahan dalam mengakses kepentingan yang mereka harapkan.
4.      Mystery
Museum harus memiliki daya tarik yang terkandung dari segi bangunan atau koleksi yang memberikan rasa keingintahuan pengunjung untuk mendapatkan sebuah informasi dari suatu hal yang mystery.

-        Berlyne membuat tiga konsep untuk melakukan eksplorasi lingkungan yang akan diterapkan pada pengelolaan Museum Daerah Subang yaitu :
1.      Kompleksitas
Pada pengelolaan museum terutama pengelolaan lingkungan di sekitar museum harus memberikan nilai atau variasi  yang berkesan, sehingga pengunjung akan memberikan perbandingan baik pada lingkungan yang sama atau lingkungan yang berbeda, namun nilai atau variasi yang diberikan tidak boleh berlebihan karena hal yang berlebihan akan menghasilkan tanggapan yang kurang baik.
2.      Hal yang baru
Dalam penyajian koleksi museum harus menampilkan hal-hal yang baru, dengan cara mengeksplorasi kreativitas pengelola museum untuk membuat rancangan lingkungan museum yang berbeda dan belum pernah dilihat sebelumnya. Salah satu contoh memberikan sajian pameran temporer setiap beberapa bulan sekali agar pengunjung tidak merasa jenuh.
3.      Keganjilan
Museum harus memunculkan rasa tidak biasa yang tumbuh dari benak pengunjung, yang dihasilkan dari penyajian koleksi atau informasi yang diberikan. Keganjilan pada sebuah museum akan menghasilkan perhatian yang menarik.
4.      Keheranan
Museum harus menyajikan koleksi yang tidak diketahui sebelumnya dengan cara melakukan penelitian untuk mendapatkan komponen yang akan menimbulkan rasa keheranan pengunjung.
-        Russel dan Lanius memberikan sebuah model dalam memilih suatu lingkungan, yaitu : menggugah, tidak menggugah, menyenangkan, dan tidak menyenangkan.
Pada dasarnya konsep penyajian dan pengelolaan museum yang diutamakan dari model diatas adalah menggugah dan menyenangkan, artinya sebuah penyajian dan pengelolaan museum harus memberikan stimulasi atau rangsangan dengan cara memberikan variasi atau memiliki kompleksitas dengan lingkungan yang menggairahkan sehingga akan menghasilkan aktivitas para pengunjung untuk berapresiasi terhadap penyajian di lingkungan museum.

TAK MENYENANGKAN

MENGGUGAH

MENYENANGKAN

Ramai

Gairah
Panik
Sibuk
Aktif

Tak Nyaman


Stimulating

Tak Memuaskan

Menyenangkan
Tak Menenangkan


Indah




Unstimulating




Bosan

Tenang

Tak Aktif

Damai

Monoton
Ngantuk
Kalem

Malas
Lamban
Sepi

TIDAK MENGGUGAH









B.      PEMETAAN KOGNITIF
Pemetaan kognitif adalah akal pikiran yang tertanam dalam diri manusia yang merupakan proses dari informasi yang diterima. Penerapan pada sebuah museum informasi pemetaan kognitif sangat penting untuk digunakan, pemetaan kognitif ini meliputi beberapa hal :
1.      Tempat
Merupakan titik awal perilaku seseorang mengenal tempat tujuan tentunya dalam hal ini tempat museum berada, suatu tempat harus mudah diingat, berada ditempat yang strategis dalam sebuah kompleksitas yang beragam, sehingga muncul dalam benak pengunjung ketika akan berangkat ke suatu tempat. Gedung wisma karya merupakan gedung yang berada di pusat kota Subang sehingga tempat tersebut tidak asing atau familiar bagi warga Subang, sehingga hal ini memudahkan pengunjung untuk membayangkan tujuannya.
2.      Hubungan spasial antar tempat
Hubungan spasial antar tempat dalam penerapan pada sebuah museum bisa diistilahkan tata pamer atau ekshibisi, karena dalam menentukan ekshibisi harus berdasar pada hubungan spasial antar tempat, sehingga pada saat menentukan konsep penyajian koleksi bisa ditentukan dengan melihat kondisi dan luas tempat sebuah museum.
3.      Rencana Perjalanannya (rute)
Dalam Penyajian  koleksi di ruang pameran museum harus memiliki prinsip yaitu:
-          Sistematika atau alur cerita pameran, sangat diperlukan dalam penyajian koleksi di ruang pameran, karena akan mempermudah komunikasi dan penyampaian informasi koleksi museum kepada masyarakat.
-          Koleksi yang mendukung alur cerita, yang disajikan di ruang pameran harus dipersiapkan sebelumnya, agar sajian koleksi terlihat hubungan dan keterkaitan yang jelas antar isi materi pameran.
4.      Landmark
Dalam sebuah museum landmark dapat diartikan label informasi baik informasi tentang koleksi atau ruang yang disajikan.
Panil-panil informasi atau label secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a.      Teks dinding (introductory label) yang memuat informasi awal / pengenalan mengenai pameran yang diselenggarakan, tema dan subtema pameran, kelompok koleksi.
b.      Label individu yang berisi nama dan keterangan singkat mengenai koleksi yang dipamerkan. Informasi yang disampaikan berisi keterangan yang bersifat deskriptif, dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan alur cerita.



BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dan Saran
Gedung Wisma Karya adalah  warisan budaya. Merupakan lingkungan terpilih sebagai landasan operasional bagi proses penanaman rasa patriotisme yang harus diwariskan dari generasi ke generasi yang diaplikasikan pada sebuah Museum Daerah Subang. Warisan budaya pada hakikatnya merupakan landasan untuk membangun sesuatu wacana khusus seperti misalnya identitas. Penyampaian identitas ini bertujuan agar masyarakat sadar akan identitasnya atau memperkuat identitas yang telah disadarinya, sehingga pada gilirannya Museum Daerah Subang dapat membangkitkan keyakinan masyarakat Subang memiliki potensi untuk mampu mengembangkan diri.
Dengan pemetaan kognitif  konsep penyajian koleksi pada Museum Daerah Subang orientasinya harus berubah dari koleksi ke masyarakat maka museum tidak hanya melestarikan dan kemudian memamerkan koleksinya, namun berubah menjadi bagaimana koleksi itu dapat bermakna bagi masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat memberi identitas masyarakat, bagaimana masyarakat dapat menemukan kembali akar budayanya. Tidak dipungkiri bahwa dari sejumlah museum yang ada di Indonesia memang terdapat museum yang sajian tata pamernya sudah berorientasi kepada pengunjung, meski ada pula museum yang penyajian koleksinya masih cenderung mengutamakan estetika ketimbang makna koleksi. Bagaimana pun harus disadari bahwa fungsi museum adalah menyampaikan informasi baik beragam sejarah alam maupun budaya yang mampu mengilhami pembentukan identitas budaya untuk memenuhi keinginan masyarakat.

                                                                                                                            
DATA SUMBER

Zulrizka Iskandar, 2012.
            Psikologi Lingkungan Teori dan Konsep. Bandung, Refika Aditama
Akbar, Ali, 2010.
            Museum di Indonesia Kendala dan Harapan, Jakarta, Papas Sinar Sinanti.
Arbi, Yunus, 2002.
Museum Dan Pendidikan, Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Proyek Pengembangan Kebijakan Kebudayaan.
Indonesia, Pemerintah Kabupaten Subang, 2007.
            Sejarah Kabupaten Subang. Subang. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar