Wisma Karya

Wisma Karya
Societeit

Rabu, 26 Maret 2014

BENARKAH 5 APRIL 1948 ?



HARI JADI KABUPATEN SUBANG
Benarkah 5 April 1948?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra[1])


PENDAHULUAN
            Hari jadi kabupaten atau kota merupakan bagian dari sejarah lokal. Ilmu Sejarah membagi sejarah dalam dua pengertian. Pertama, sejarah sebagai peristiwa dalam arti peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya di masa lampau (history as past actuality). Kedua, sejarah sebagai kisah yaitu sejarah sebagaimana dikisahkan secara tertulis (history as written) yang merupakan rekonstruksi sejarah sebagai peristiwa.
            Rekonstruksi sejarah sebagai peristiwa harus dilandasi oleh metode sejarah, agar sejarah sebagai kisah yang dihasilkannya didasarkan pada fakta sejarah, hasil rekonstruksi itu cenderung bersifat objektif. Dikatakan demikian, karena dalam membuat sejarah sebagai kisah, biasanya – disadari atau tidak – terkait dengan sikap subjektif. Metode sejarah menuntut sikap subjektif itu harus subjektif rasional, tidak subjektif emosional.
            Dalam mencari tanggal hari jadi kabupaten atau kota, objektivitas sejarah harus menjadi landasan, karena berdirinya kabupaten atau kota adalah sejarah sebagai peristiwa.


Pengertian Hari Jadi
            Dalam mencari tanggal untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi sesuatu (kabupaten, kota, dan sebagainya), pengertian hari jadi (Sunda: titimangsa) harus menjadi landasan utama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat terbitan tahun 2008, Hari Jadi adalah hari kelahiran atau saat pertama kali (sesuatu) digunakan atau diresmikan
            Bila pengertian hari jadi itu digunakan sebagai landasan pemikiran dalam mencari Hari Jadi Kabupaten Subang yang berada di wilayah Jawa Barat, pertanyaannya adalah:
Ÿ  Kapan berdirinya (lahirnya) kabupaten dengan nama Kabupaten Subang?
Ÿ  Tanggal berapa kabupaten itu berdiri atau diresmikan?


PERISTIWA 5 APRIL 1948
            Sampai saat ini tanggal yang dianggap Hari Jadi Kabupaten Subang adalah tanggal 5 April (1948). Benarkah tanggal itu sebagai peristiwa berdiri/lahirmya Kabupaten Subang?
            Untuk mengetahui benar/tepat-tidaknya tanggal 5 April 1948 dianggap sebagai Hari Jadi Kabupaten Subang, perlu dipahami latar belakang berdirinya kabupaten tersebut.

Ÿ  Latar Belakang Berdirinya Kabupaten Subang
            Dalam sejarah Indonesia, tahun 1948 termasuk ke dalam Zaman Revolusi Kemerdekaan. Gejolak revolusi kemerdekaan yang paling besar atau menonjol terjadi di daerah Jawa Barat. Perjuangan melawan pihak Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan, tidak hanya dilakukan dengan kekuatan senajata, tetapi juga melalui perjuangan politik (diplomasi). Perjuangan secara diplomasi itu dilakukan melalui Perundingan Linggajati tanggal 10 November 1946. Naskah perundingan ditandatangani oleh kedua belah pihak (Indoneia dan Belanda) tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka).
            Belanda ternyata melanggar perundingan itu, bahkan melakukan agresi militer. Serangan Belanda terutama ditujukan pada daerah-daerah yang diduduki oleh TNI dan pejuang RI lainnya. Daerah di Jawa Barat yang menjadi sasaran serangan Belanda antara lain daerah Purwakarta dan Karawang termasuk Subang, karena Purwakarta dan Karawang diduduki oleh TNI (Pasukan Siliwangi) Brigade III. Waktu itu Purwakarta merupakan salah satu basis perjuangan di Jawa Barat.
            Serangan tentara Belanda menyebabkan pasukan TNI di Purwakarta terpaksa mundur ke Subang. Sementara itu Pemerintah Keresidenan Jakarta juga mengungsi ke Subang. Kemudian di sana dibentuk ”Pemerintah Darurat Keresidenan Jakarta” dipimpin oleh Kosasih Purwanegara dan Moh. Mu’min, masing-masing sebagai residen dan wakil residen. Pemerintah itu melakukan kegiatannya bersifat gerilya.
            Oleh karena tentara Belanda menduduki Kalijati, ”Pemerintah Darurat Keresidenan Jakarta” mengungsi ke daerah pedalaman. Di Kampung Ciamnggu Desa Cimenteng, Residen Kosasih Purwanegara mengadakan rapat dengan beberapa pejabat yang turut mengungsi. Rapat berlangsung tanggal 24-25 Oktober 1947, dengan keputusan antara lain membentuk pemerintahan wilayah.
     a)  Wilayah Karawang Barat mencakup 3 kewedanaan: Karawang, Rengasdeng-                        klok, dan Cikampek, dengan kordinator Syafe’i.
     b) Wilayah Karawang Timur mencakup 5 kewedanaan: Subang, Purwakarta, Sa-                      galaherang, Ciasem, dan Pamanukan, dengan kordinator Karlan.
Hal itu dimaksudkan agar pemerintahan di daerah , walaupun di tempat pengungsian, terus berlangsung.
            Beberapa waktu kemudian, di daerah pertempuran, Pasukan Siliwangi bekerjasama dengan komponen masyarakat melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda dengan sistem perang gerilya, sehingga tentara Belanda kewalahan. Hal itu menyebabkan pihak Belanda lagi-lagi meminta diadakan perundingan. Tanggal 8 Desember 1947 terjadi Perundingan Renville. Naskah perundingan ditandatangani oleh kedua belah pihak tanggal 17 Januari 1948.
            Sebagai akibat dari perundingan itu, Pasukan Siliwangi harus ke luar dari daerah Jawa Barat, karena daerah itu menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Tanggal 1-22 Februari 1948 Pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Pihak Belanda yang dimotori oleh tokoh van Mook memprovokasi warga Jawa Barat yang berhaluan federal, sehinngga terbentuklah RIS (Republik Indonesia Serikat), gabungan dari ”negara-negara boneka” buatan van Mook, satu di antaranya adalah Negara Pasundan dengan wali negara R.A.A. Wiranatakusumah V.

Ÿ   Terjadinya Peristiwa 5 April 1948
            Meskipun daerah pengungsian ”Pemerintah Darurat Keresidenan Jakarta” termasuk wilayah Negara Pasundan, namun kordinator pemerintahan itu terus berupaya untuk menjalankan tugasnya dalam lingkup pemerintahan RI. Dalam hal ini, Karlan selaku Kordinator Wilayah Karawang Timur melakukan konsolidasi melalui rapat dengan unsur-unsur pemerintahan Karawang Timur dan Karawang Barat, wakil Badan Pekerja Daerah Keresidenan Jakarta, serta wakil dari kepolisian dan unsur TNI yang tidak turut hijrah.
            Rapat itu berlangsung tanggal 5 April 1948 di tempat rapat terdahulu, yakni di Kampung Cimanggu Desa Cimenteng, yang menghasilkan keputusan mengenai tiga hal.
     1) Moh. Mu’min yang semula menjabat sebagai wakil residen, ditetapkan menjadi                     residen berkedudukan di Purwakarta.
     2) Syafe’i yang semula bertugas sebagai Kordinator Wilayah Karawang Barat di-                      tetapkan menjadi Bupati Karawang Barat.
     3) Danta Gandawikarma ditetapkan menjadi Bupati Karawang Timur.
            Pemerintahan gerilya di daerah Karawang rupanya tidak diketahui atau tidak diakui oleh pemerintah Negara Pasundan. Hal itu ditunjukan oleh keluarnya surat keputusan Wali Negara Pasundan tanggal 29 Januari 1949. Keputusan itu mengenai pemecahan daerah Karawang menjadi dua kabupaten.
   I.   Daerah Karawang bagian barat menjadi Kabupaten Karawang dengan ibukota                       Karawang, meliputi 3 kewedanan: Karawang, Rengasdengklok, dan Cikampek.
   II. Daerah Karawang bagian timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan ibukota                     Subang, mencakup 5 kewedanan: Purwakarta, Subang, Ciasem, Pamanukan                             dan Sagalaherang.
Namun demikian, pemerintahan gerilya Kabupaten Karawang Timur terus berlangsung. Berarti di daerah Karawang Timur terjadi dualisme pemerintahan.


SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Ÿ Rapat tanggal 5 April 1948 di Kampung Cimanggu tidak memutuskan     pembentukan Kabupaten Subang.
Ÿ Bila dikaji berdasarkan pengertian hari jadi tersebut di atas, tanggal 5 April 1948            bukan tanggal pembentukan Kabupaten Subang. Fakta sejarah menunjukkan          tanggal itu adalah momentum pembentukan Kabupaten Karawang Timur, yang     wilayahnya antara lain mencakup Subang dalam kedudukan sebagai kewedanan.
Ÿ Kabupaten Karawang Timur yang dibentuk tanggal 5 April 1948 bukan cikal-bakal         Kabupaten Subang.
Ÿ Dengan kata lain, tanggal 5 April 1948 dianggap sebagai Hari Jadi Kabupaten     Subang adalah salah pilih.
w Untuk kebenaran atau objektivitas sejarah, harus dilakukan penelitian ulang yang            lebih seksama untuk mencari tanggal yang tepat atau memadai dipilih dan            ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Subang. Penelitian harus berpedoman pada     metode sejarah. Oleh karena itu penelitian harus dilakukan oleh atau melibatkan       sejarawan profesional yang benar-benar menguasai metode sejarah.
w Dalam mencari dan memilih tanggal yang tepat atau memadai sebagai Hari Jadi Kabupaten Subang, juga harus memperhatikan ketentuan memilih tanggal hari jadi yang dilandasi oleh kaidah metode sejarah (terlampir).
w Setelah tanggal yang tepat atau memadai ditemukan, tanggal 5 April (1948),       meskipun telah ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Subang berdasarkan Perda,       menjadi gugur, kemudian diganti oleh tanggal menurut fakta yang lebih dapat          dipertanggungjawabkan keabsahannya sebagai Hari Jadi Kabupaten Subang, baik secara ilmiah maupun secara rasional.
w Penggantian tanggal hari jadi kabupaten karena ternyata salah, bukan hal yang    tabu, melainkan suatu keharusan dan tuntutan metodologi sejarah, agar tidak mewariskan sejarah yang salah kepada generasi penerus.

 

Bandung, 14 September 2013





SUMBER ACUAN
(Selektif)




Hardjasaputra, A. Sobana. 1980.
            Pemerintahan Daerah Jawa Barat Pada Masa Revolusi Fisik. Bandung:     Fakultas Sastra Unpad.
Haryono, Nono et al. 1971.
            Kabupaten Subang; Latar Belakang Pertumbuhan dan Perkembangannya.             Subang: tp.
Indonesia. Kempen. 1953/.
            Propinsi Jawa Barat. Bandung.
--------. Depdikbud. 1980/1981.
            Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jawa Barat. Bandung: Direktorat Jarahnitra. Proyek IDKD.
--------. Depdiknas, 2008.
            Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi keempat. Jakarta:       Gramedia Pustaka Utama.
Jawa Barat. Pemda Tk. I. 1993.
            Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Provinsi Jawa Barat.
Nasution, A.H. 1978.
            Sekitar Perang Kemerdekaan. Cet. Ke-1. Bandung: Angkasa.
Sewaka. 1955.
            Tjorat-Tjaret Dari Djaman ke Djaman. Bandung: Visser.
Sumarsono, Tatang. 1993.
            Didi Kartasasmita; Pengabdian Bagi Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tuhuteru, J.M.A. tth.
            Riwajat Singkat Berdirinja Negara Pasundan. Djakarta: Deppen.




Lampiran

KETENTUAN MEMILIH TANGGAL HARI JADI KABUPATEN/KOTA

a.   Ketentuan Umum
Bila nama kabupaten sama dengan nama ibukotanya, sebelum penelitian dilakukan, perlu ditetapkan lebih dahulu, hari jadi apa yang akan dicari. Apakah hari jadi kabupaten atau hari jadi kota? Hal itu penting dilakukan karena dua hal. Pertama, pengertian kabupaten jelas berbeda dengan pengertian kota. Kabupaten, mengacu pada bentuk pemerintahan dan wilayah adminitratif. Pengertian kota terutama mengacu pada aspek fisik dan fungsi kota. Kedua, pembentukan kabupaten, khsusnya kabupaten yang berdiri jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, tidak selalu bersamaan atau sejalan dengan pendirian ibukota kabupaten yang bersangkutan.
Oleh karena itu peneliti harus memahami benar latar belakang pembentukan kabupaten atau pendirian kota.
b.   Ketentuan Khusus
1.      Pencarian sumber (primer dan sekunder) harus tuntas.
2.   Tanggal yang dipilih berasal dari sumber akurat, yaitu umber yang memuat data atau menyampaikan informasi yang dapat dipercaya (credible). Dengan kata lain, tanggal hari jadi harus sesuai dengan fakta sejarah yang kuat (hard fact) mengenai pendirian atau peresmian kabupaten atau kota, karena berdirinya kabupaten atau kota adalah sejarah sebagai peristiwa, yaitu peristiwa sebagaimana terjadinya (history as past actuality).
2.      Pemilihan tanggal harus objektif. Siapa/pihak mana yang mendirikan atau meresmikan kabupaten atau kota yang bersangkutan, tidak perlu diper-masalahkan, karena berdirinya kabupaten atau kota adalah peristiwa sebagaimana terjadinya (sejarah sebagai peristiwa).
3.      Apabila perolehan tanggal harus melalui interpretasi atau penafsiran[2]), dua syarat harus dipenuhi, yaitu :
a)      memperhatikan konteks permasalahannya, dan
b)      interpretasi/penafsiran itu dilandasi oleh sikap objektif-rasional, bukan subjektif-emosional.
4.      Dalam kasus penetapan hari jadi kabupaten atau kota yang menimbulkan pro-kontra, hari jadi yang telah ditetapkan itu harus dikaji ulang secara seksama. Revisi atau penulisan ulang sejarah, bukan hal yang tabu, melainkan justru suatu keharusan, agar tidak mewariskan sejarah yang salah kepada generasi penerus.
Apabila kemudian ditemukan fakta baru atau interpretasi baru yang lebih kuat, maka tanggal yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi gurur, diganti oleh tanggal menurut fakta yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Ketentuan ini disusun berdasarkan metode sejarah. Oleh karena itu syarat-syarat dalam ketentuan tersebut harus dipenuhi, agar tanggal yang dipilih merupakan fakta sejarah yang kuat. Dengan demikian, penetapan tanggal hari jadi dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara rasional.





Bandung, 4 September 2004
A. Sobana Hardjasaputra
Sejarawan Senior Universitas Padjadjaran
Pengampu Mata Kuliah Metode Sejarah


                [1]) Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran & Universitas Galuh.
                [2]) Penafsiran dilakukan bil tanggal berdiri atau peresmian kabupaten/kota itu bukan tanggal dalam sistem kalender Masehi. Misalnya, tanggal menurut kalender Jawa-Islam atau candrasangkala.

Sabtu, 22 Maret 2014

PERWUJUDAN GEDUNG WISMA KARYA SEBAGAI UPTD MUSEUM SUBANG DITINJAU DARI TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN



PERWUJUDAN GEDUNG WISMA KARYA SEBAGAI UPTD MUSEUM SUBANG DITINJAU DARI TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN
DINAS KEBUDAYAAN PARIWISATA
 PEMUDA DAN OLAH RAGA
KABUPATEN SUBANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
         Gedung Wisma Karya merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kabupaten Subang, peninggalan perusahaan perkebunan Pamanoekan and Tjiansem Lenden, pada masa Pemerintahan kolonial Belanda. Berdasarkan prasasti yang ada di gedung tersebut gedung dibangun pada tahun 1922, oleh para arsitek dari Belanda sehingga bentuk bangunan secara arsitektural bergaya Eropa dengan ciri has atap pelana dengan ornamen batu menempel pada tiang – tiang selasarnya.


          Lokasi Gedung Wisma Karya berada tepat dipusat Kota Subang, yaitu di Jalan  Ade Irma Suryani Nasution Nomor 2, secara administratif berada diwilayah Kelurahan Karang Anyar Kecamatan Subang, bangunan tersebut menghadap ke selatan, luas bangunan 1088 m2. Untuk menuju Gedung Wisma Karya sangat mudah karena seluruh kendaraan umum perkotaan dari berbagai arah dan  jurusan melewati gedung tersebut. Karena letak Gedung Wisma Karya berada di pusat Kota Subang,  maka ancaman kerusakan sangat tinggi karena  lingkungan gedung sangat terbuka tanpa ada pembatas atau pagar, sehingga setiap hari, siang dan malam lingkungan Gedung dipakai aktifitas masyarakat untuk bermain (Hendarsah, 2013: ).
          Saat ini Gedung Wisma Karya milik Pemerintah Kabupaten Subang, yang dikelola oleh tujuh pengelola yaitu Bagian Aset Daerah Setda Kabupaten Subang, UPTD Museum, UPTD Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kecamatan Subang, Cijambe, Kalijati, Dawuan, Cibogo, Organisasi Pemuda Pancasila, PWRI, PORPI, dan Primkoptama Mitra Pensiunan. Masing-masing mengisi ruang yang berbeda, terkecuali Bagian Rumah Tangga Sekreteariat Daerah yang hanya mengelola aula saja dan berkantor tetap di Sekretariat Daerah Pemda Subang. Dampak dari pengelolaan oleh berbagai lembaga yang berbeda tersebut mengakibatkan pengelolaan gedung menjadi semrawut karena memiliki kepentingan   yang  berbeda-beda  sehingga gedung menjadi sorotan atau tanggapan kurang baik  dari  masyarakat (Hendarsah, 2013:    )
          Keberadaan bangunan Gedung Wisma Karya yang merupakan bangunan lama terkadang orang menyepelekannya dengan citra seram dan kusam, padahal kelemahan yang dimilikinya sebenarnya merupakan kekuatan, bangunan lama menyimpan banyak kisah sepanjang umurnya dibandingkan bangunan baru yang kisahnya baru beberapa tahun saja, bangunan tersebut dapat saja ditata sedemikian rupa sehingga dari luar tampak tua, tetapi begitu masuk ruangan gedung tampak muda dan modern. Banyak di dunia yang menggunakan bangunan lama untuk museum dan museum tersebut bertambah terkenal karena bangunannya bernilai sejarah tinggi (Ali Akbar, 2010:25).
 Gedung Wisma Karya merupakan Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya yang memenuhi kriteria :
a.      Berusia 50 ( lima puluh ) tahun atau lebih;
b.      Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 ( lima puluh ) tahun;
c.       Memiliki arti khusus bagi sejarah , ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan; dan
d.      Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.(UU RI No.11 Tahun 2010, Pasal : 5).
Sedangkan pada pasal 1 yang dimaksud Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia , baik bergerak maupun tidak bergerak , berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian- bagiannya, atau sisa – sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
           Untuk pengembangan Cagar Budaya dalam hal ini yaitu Bangunan Cagar Budaya yang berada di wilayah Kabupaten Subang, harus dipikirkan bagaimana mengatasi ancaman eskternal sehingga dapat merebut peluang yang ada, oleh karena itu perlu adanya proses analisis serta merumuskan dari hasil evaluasi strategi yang sebelumnya pernah dilakukan, sehingga akan muncul strategi-strategi baru  setelah melihat secara obyektif kondisi internal dan eksternal  (Hendarsah, 2013:  ).
B.      PERUMUSAN MASALAH
Setelah melihat latar belakang yang ada agar dalam penelitian ini tidak terjadi kekeliruan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam makalah ini.
Adapun perumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana cara menerapkan teori lingkungan terpilih terhadap pemanfaatan gedung Wisma Karya sebagai Museum Daerah Subang ?
2.      Bagaimana menciptakan pemetaan kognitif pada gedung Wisma Karya sebagai Museum Daerah Subang ?

C.      TINJAUAN TEORI
1.      Steven Kaplan dan Rachel Kaplan
Faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu objek lingkungan untuk dikunjungi atau tidak dikunjungi harus mempunyai daya tarik. Dari hasil penelitian kedua ahli tersebut diperoleh hasil sebagai berikut :
a.      Coherence : pengorganisasian lingkungan yang baik akan lebih menyenangkan untuk dikunjungi.
b.      Legibility : tingkatan pemahaman terhadap sebuah lingkungan yang dikunjungi sesuai dengan kemampuan pengetahuan yang dimiliki oleh pengunjung.
c.       Complexity :  suatu lingkungan akan lebih menarik apabila terdapat pada sebuah lingkungan yang beragam atau tidak monoton, lingkungan yang monoton akan menimbulkan kebosanan.
d.      Mystery : lingkungan yang memiliki informasi tersembunyi akan menimbulkan keinginan seseorang untuk mencari informasi sehingga menjadikan pengetahuan yang didapatkan.
2.      Berlyne
Mengemukakan konsep eksplorasi untuk melakukan evaluasi lingkungan. Elemen dalam eksplorasi adalah : Kompleksitas, hal yang baru, keganjilan, dan keheranan. ((Zulriska Iskandar, 2012: 89)
3.      Russel dan Lanius
Mengemukakan suatu model afektif dalam memilih suatu lingkungan. Lingkungan dapat menggugah atau tidak menggugah perasaan pengunjung. Demikian pula suatu lingkungan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. (Zulriska Iskandar, 2012: 79)
4.      Pemetaan kognitif merupakan proses mental yang berisikan serangkaian transformasi psikologis dari informasi yang diterima, dikategorikan atau dibuat kode, disimpan, disampaikan dalam suatu deskripsi mengenai suatu lokasi. Pemetaan kognitif sering disebut juga dengan peta mental. (Zulriska Iskandar, 2012: 92)

BAB II
PEMBAHASAN
A.     LINGKUNGAN TERPILIH
Gedung Wisma Karya merupakan tempat yang mempunyai daya tarik sendiri, ditinjau dari bentuk arsitektur, gedung ini terdapat ciri yang mudah diingat oleh masyarakat, oleh karena itu objek yang mempunyai daya tarik akan menjadi pilihan seseorang untuk dikunjungi. Gedung wisma karya merupakan salah satu Bangunan Cagar Budaya yang mempunyai makna dibalik gedung tersebut atau diistilahkan tangible and intangible heritage.
Pada saat ini museum harus segera merubah paradigma dari traditional museum ke new museum,  traditional museum berorientasi  pada perawatan dan pengamanan sedangkan new museum berorientasi pada perkembangan sosial dan kehidupan masyarakat. Penerapan new museum harus segera dilaksanakan oleh pengelola museum, agar memberikan sebuah penyajian yang diterima oleh masyarakat melalui penilaian atau evaluasi terhadap sebuah lingkungan museum.
Gedung wisma karya merupakan sebuah cikal bakal terbentuknya new museum di Kabupaten Subang, namun perwujudannya harus menggunakan strategi dan perencanaan yang baik. Yaitu dengan menggunakan teori lingkungan terpilih dari para ahli:
-           (steven Kaplan dan Rachel Kaplan) yang terdiri dari beberapa faktor yaitu :
1.      Coherence
Sebuah museum harus memiliki atau membangun suatu organisasi yang baik dalam pengelolaannya, sehingga akan memberikan pandangan bagi masyarakat bahwa museum tersebut memiliki daya tarik yang menyenangkan dalam penataan lingkungannya.
2.      Legibility
Dalam pentaan lingkungan objek harus memberikan sebuah pemandangan yang mudah diingat dan dipahami. Pada penyajian koleksi museum harus memberikan komunikasi informasi yang sesuai dengan kategori pengetahuan pengunjung agar mudah dinikmati dan dipahami.
3.      Complexity
Museum harus berada pada tempat yang strategis, dimana terdapat beragam lingkungan disekitar museum agar pengunjung diberikan kemudahan dalam mengakses kepentingan yang mereka harapkan.
4.      Mystery
Museum harus memiliki daya tarik yang terkandung dari segi bangunan atau koleksi yang memberikan rasa keingintahuan pengunjung untuk mendapatkan sebuah informasi dari suatu hal yang mystery.

-        Berlyne membuat tiga konsep untuk melakukan eksplorasi lingkungan yang akan diterapkan pada pengelolaan Museum Daerah Subang yaitu :
1.      Kompleksitas
Pada pengelolaan museum terutama pengelolaan lingkungan di sekitar museum harus memberikan nilai atau variasi  yang berkesan, sehingga pengunjung akan memberikan perbandingan baik pada lingkungan yang sama atau lingkungan yang berbeda, namun nilai atau variasi yang diberikan tidak boleh berlebihan karena hal yang berlebihan akan menghasilkan tanggapan yang kurang baik.
2.      Hal yang baru
Dalam penyajian koleksi museum harus menampilkan hal-hal yang baru, dengan cara mengeksplorasi kreativitas pengelola museum untuk membuat rancangan lingkungan museum yang berbeda dan belum pernah dilihat sebelumnya. Salah satu contoh memberikan sajian pameran temporer setiap beberapa bulan sekali agar pengunjung tidak merasa jenuh.
3.      Keganjilan
Museum harus memunculkan rasa tidak biasa yang tumbuh dari benak pengunjung, yang dihasilkan dari penyajian koleksi atau informasi yang diberikan. Keganjilan pada sebuah museum akan menghasilkan perhatian yang menarik.
4.      Keheranan
Museum harus menyajikan koleksi yang tidak diketahui sebelumnya dengan cara melakukan penelitian untuk mendapatkan komponen yang akan menimbulkan rasa keheranan pengunjung.
-        Russel dan Lanius memberikan sebuah model dalam memilih suatu lingkungan, yaitu : menggugah, tidak menggugah, menyenangkan, dan tidak menyenangkan.
Pada dasarnya konsep penyajian dan pengelolaan museum yang diutamakan dari model diatas adalah menggugah dan menyenangkan, artinya sebuah penyajian dan pengelolaan museum harus memberikan stimulasi atau rangsangan dengan cara memberikan variasi atau memiliki kompleksitas dengan lingkungan yang menggairahkan sehingga akan menghasilkan aktivitas para pengunjung untuk berapresiasi terhadap penyajian di lingkungan museum.

TAK MENYENANGKAN

MENGGUGAH

MENYENANGKAN

Ramai

Gairah
Panik
Sibuk
Aktif

Tak Nyaman


Stimulating

Tak Memuaskan

Menyenangkan
Tak Menenangkan


Indah




Unstimulating




Bosan

Tenang

Tak Aktif

Damai

Monoton
Ngantuk
Kalem

Malas
Lamban
Sepi

TIDAK MENGGUGAH









B.      PEMETAAN KOGNITIF
Pemetaan kognitif adalah akal pikiran yang tertanam dalam diri manusia yang merupakan proses dari informasi yang diterima. Penerapan pada sebuah museum informasi pemetaan kognitif sangat penting untuk digunakan, pemetaan kognitif ini meliputi beberapa hal :
1.      Tempat
Merupakan titik awal perilaku seseorang mengenal tempat tujuan tentunya dalam hal ini tempat museum berada, suatu tempat harus mudah diingat, berada ditempat yang strategis dalam sebuah kompleksitas yang beragam, sehingga muncul dalam benak pengunjung ketika akan berangkat ke suatu tempat. Gedung wisma karya merupakan gedung yang berada di pusat kota Subang sehingga tempat tersebut tidak asing atau familiar bagi warga Subang, sehingga hal ini memudahkan pengunjung untuk membayangkan tujuannya.
2.      Hubungan spasial antar tempat
Hubungan spasial antar tempat dalam penerapan pada sebuah museum bisa diistilahkan tata pamer atau ekshibisi, karena dalam menentukan ekshibisi harus berdasar pada hubungan spasial antar tempat, sehingga pada saat menentukan konsep penyajian koleksi bisa ditentukan dengan melihat kondisi dan luas tempat sebuah museum.
3.      Rencana Perjalanannya (rute)
Dalam Penyajian  koleksi di ruang pameran museum harus memiliki prinsip yaitu:
-          Sistematika atau alur cerita pameran, sangat diperlukan dalam penyajian koleksi di ruang pameran, karena akan mempermudah komunikasi dan penyampaian informasi koleksi museum kepada masyarakat.
-          Koleksi yang mendukung alur cerita, yang disajikan di ruang pameran harus dipersiapkan sebelumnya, agar sajian koleksi terlihat hubungan dan keterkaitan yang jelas antar isi materi pameran.
4.      Landmark
Dalam sebuah museum landmark dapat diartikan label informasi baik informasi tentang koleksi atau ruang yang disajikan.
Panil-panil informasi atau label secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a.      Teks dinding (introductory label) yang memuat informasi awal / pengenalan mengenai pameran yang diselenggarakan, tema dan subtema pameran, kelompok koleksi.
b.      Label individu yang berisi nama dan keterangan singkat mengenai koleksi yang dipamerkan. Informasi yang disampaikan berisi keterangan yang bersifat deskriptif, dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan alur cerita.



BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dan Saran
Gedung Wisma Karya adalah  warisan budaya. Merupakan lingkungan terpilih sebagai landasan operasional bagi proses penanaman rasa patriotisme yang harus diwariskan dari generasi ke generasi yang diaplikasikan pada sebuah Museum Daerah Subang. Warisan budaya pada hakikatnya merupakan landasan untuk membangun sesuatu wacana khusus seperti misalnya identitas. Penyampaian identitas ini bertujuan agar masyarakat sadar akan identitasnya atau memperkuat identitas yang telah disadarinya, sehingga pada gilirannya Museum Daerah Subang dapat membangkitkan keyakinan masyarakat Subang memiliki potensi untuk mampu mengembangkan diri.
Dengan pemetaan kognitif  konsep penyajian koleksi pada Museum Daerah Subang orientasinya harus berubah dari koleksi ke masyarakat maka museum tidak hanya melestarikan dan kemudian memamerkan koleksinya, namun berubah menjadi bagaimana koleksi itu dapat bermakna bagi masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat memberi identitas masyarakat, bagaimana masyarakat dapat menemukan kembali akar budayanya. Tidak dipungkiri bahwa dari sejumlah museum yang ada di Indonesia memang terdapat museum yang sajian tata pamernya sudah berorientasi kepada pengunjung, meski ada pula museum yang penyajian koleksinya masih cenderung mengutamakan estetika ketimbang makna koleksi. Bagaimana pun harus disadari bahwa fungsi museum adalah menyampaikan informasi baik beragam sejarah alam maupun budaya yang mampu mengilhami pembentukan identitas budaya untuk memenuhi keinginan masyarakat.

                                                                                                                            
DATA SUMBER

Zulrizka Iskandar, 2012.
            Psikologi Lingkungan Teori dan Konsep. Bandung, Refika Aditama
Akbar, Ali, 2010.
            Museum di Indonesia Kendala dan Harapan, Jakarta, Papas Sinar Sinanti.
Arbi, Yunus, 2002.
Museum Dan Pendidikan, Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Proyek Pengembangan Kebijakan Kebudayaan.
Indonesia, Pemerintah Kabupaten Subang, 2007.
            Sejarah Kabupaten Subang. Subang. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.